Arah Kehidupan
Suara bising selalu datang di
tempat ini, tempat dimana beberapa anak mempertaruhkan hidupnya. Siang itu di
daerah yang tak cocok tuk ditempati, sang surya memancarkan sinar super
dahsyatnya.
Cuaca
di daerah itu terasa sangat panas, ditambah lagi suara kereta yang datang dari
arah berlawanan dengan laju motor Pak Bondan yang terasa mencekik di telinga.
Kereta dengan asap mengepul di udara dan suara khasnya itu, menambah suasana
lebih sumpek.
“Selamat siang Bos!” sengaja
Rian menambah volume suaranya yang sudah terasa kering di tenggorokan. Memang,
di tengah keadaan sekarang ini amatlah diperlukan segala hal yang sifatnya
lebih.
Pak
Bondan menyunggingkan senyumnya yang selalu dibanggakan para anak muda di sana. Terlihat Pak Bondan
seperti berucap sesuatu. Diikuti gerak bibirnya, dan Rian tahu kalau Pak Bondan
membalas salamnya. Agak sulit memang indera pendengarnya untuk
menerjemahkannya. Sebab, tahu kan suara yang keluar di
tempat itu saling beradu.
“Waduh
dilihat dari raut mukanya kayaknya cerah banget nih, tapi dari aroma badannya sangat jauh sekaleee !” Ucap Pak Bondan
yang hendak memarkirkan motornya, diikuti gelak tawa anak-anak di sana.
Tanpa
basa-basi lagi, Pak Bondan menerangkan maksud kedatangannya. Jelas tersirat
dari ekspresi anak-anak di sana,
mereka setuju usulan Pak Bondan.
Di tempat lain yang jelas jauh dari yang namanya bising, seorang
gadis berparas cantik dan imoet-imoet tengah duduk memandangi suasana siang itu
lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar. Sinta –nama gadis itu- menebarkan
senyumnya seketika pada burung-burung yang bernyanyi di langit yang membentang
luas dengan awan sebagai penghiasnya dan matahari sebagai pelengkapnya, juga
pada ikan-ikan yang menari riang di kolam nan indah, pada rumput yang bergoyang
dan pada daun-daun yang terhempas oleh angin.
“Nona,
sudah waktunya untuk terapi!” Ucap salah satu pembantu yang sekaligus
perawatnya sembari mendorong kursi roda yang tengah diduduki Sinta.
Meskipun
Sinta sudah diberi kecantikan yang patut disyukuri dari sang pencipta, tapi
tetap saja di dunia ini tak kan
ada yang sempurna.
Pagi
yang cerah, terlihat sang surya mendukung anak muda di pinggiran rel untuk
melakukan kegiatannya.
“Sudah
disiapkan belum alat tempurnya?” tanya Rian sambil memeriksa tasnya
“Siiplah!”
balas Petir –pemuda berkulit sawo kematengan- sambil mengacungkan jempolnya.
“Ok,
semuanya beres, sekarang yo kita berangkat. Pak Bondan sudah menunggu!” Eko
menggendong ransel di atas punggungnya yang kuat. Terlihat Niko masih sibuk
dengan tasnya, susah payah dia menyelipkan barang di sana.
“Hei, tunggu ekeu !!!” Dan keempat
sekawan itu siap berangkat.
Suasana
pagi mulai hilang ditelan berbagai aktivitas orang-orang yang memadati kota Rahayu saat itu.
Terlihat di pinggiran jalan sudah banyak yang menggelar dagangannya menghalangi
para pejalan kaki.
Kota
Rahayu pada siang hari terasa ramai, begitu pula pada malam hari yang tak kalah
ramainya. Bila malam tiba, para kupu-kupu malam melancarkan aksinya.
Terlihat di sudut Zebra Cross,
seorang lelaki bertubuh gemuk tengah duduk di atas motornya.
“Hei,
itu Pak Bondan !” tunjuk Niko.
“Wah,
pagi sekali kalian datang, sampai-sampai Mentari pun jera menunggu kalian”, ledek
Pak Bondan. Anak-anak tertawa malu, sebab mereka sadar telah datang terlambat.
“Yo,
kita langsung ke lapangan sekarang !” ajak Pak Bondan. Mereka pergi
meninggalkan tempat yang membisingkan itu.
Di sudut lain, terlihat
seorang anak celingak-celingukkan was-was melihat keadaan. Tak salah lagi,
ternyata dia berencana akan mencuri dompet seorang ibu yang tak berhati-hati.
Tetapi
Rian melihat kejadian itu. Si anak tak menyadari kalau dirinya diperhatikan,
langsung berlari sembari memegang dompet berwarna hitam keabu-abuan milik Ibu tadi.
Saking girangnya, dia tak sengaja menabrak lelaki yang bertubuh kekar.
“Oow,
maaf Bang !”Ucapnya.
“Hei,
kalo mau minta maaf jangan padaku,
tapi pada Ibu itu !” Pinta Rian –orang
yang sengaja menghalangi gerak anak ingusan itu- sambil menunjuk ke arah
ibu-ibu yang terlihat cemas.
Anak
tadi hendak kabur, tapi Rian tak bisa melepaskannya begitu saja. “Eit, eit, mau
kemana kamu, kecil-kecil udah berani ngelawan ya!” Rian menarik bajunya.
“
Tolong aku Bang, kalo
nggak ada ini aku nggak bisa makan!” Ucap anak itu memelas sambil menunjukkan
dompet itu.
“Oke,
aku akan ajak kamu makan, asal balikin dulu dompet itu!” Pancing Rian. Mata
anak itu berbinar- binar. “Iya deh Bang, tapi aku nggak berani, takut digebukin
orang lagi” Kata-kata anak itu bergetar, dia berucap sambil mengusap ingusnya.
“Kamu
ini gimana sih, ngambilnya berani tapi balikinnya nggak?!” Rian memandangi anak itu.
Melihat keadaannya, dia jadi nggak tega. Akhirnya Rian mau menolong anak itu. Sementara,
kawan-kawannya hanya tertawa melihat tingkahnya.
“Oh, jadi Lo ini salah satu
anak yang jadi korban di Era Globalisasi ini?” Ucap Niko penuh perhatian.
Setelah semuanya sampe di tempat tujuan.
Niko,
Rian, Eko, Petir, termasuk Pak Bondan memperhatikannya dengan seksama mulai
dari ujung jari kaki hingga ujung rambutnya yang berantakkan.
“Iya
bang, dari kecil aku nggak punya orang tua, hidupku hanya sebatang korek api”,
ucapnya sambil melahap makanan yang sudah disajikan oleh Rian.
“Waduh,
malang kali
nasib kau”, ucap Petir dengan gaya
Bataknya.” Eh tapi dimana-mana yang namanya manusia tuh pasti dilahirkan berkat
adanya orangtua, lha ini, gimana sih dikau!” lanjutnya.
Pinto
–nama anak itu- hanya tertawa kecil sebab tertahan oleh makanan yang memenuhi
mulutnya.
“Satu hal lagi, kenapa Lo berani nyuri,
padahal itu nggak pantes buat Lo?” tanya Niko.
“Yah, beginilah hidup seorang
anak yang tumbuh di jalanan, sulit rasanya menghadapi persaingan di sana,
sehingga terpaksa aku melakukan
hal ini demi untuk menyambung hidup”, Jawabnya sok tua.
“Alaaa,
bisa aja Lo”, Elak Niko sambil mendorong kepala Pinto dengan jari telunjuknya,
sementara anak itu hanya memasang seyumnya yang terlihat bangga.
“Wah,
kebetulan banget ya nasib kita-kita juga persis kayak gitu. Kami benci sama
orangtua kami yang tega menelantarkan kami sebelum jadi orang, tapi di balik kebencian itu tersimpan berjuta-juta rasa sayang,
dan rindu yang mendalam”, Ucap Eko. Semua yang berada di sana tiba-tiba tertunduk sedih.
“Ya
udahlah yang lalu biarlah berlalu, jadi sekarang TIM kita bertambah satu, HIDUP
ANAK JALANAN!” seru Rian sambil mengepalkan tangannya ke atas dan disambut
teriakkan anak-anak di lapangan tempat kelima sekawan itu membuat karyanya.
Mereka
memang sering berkumpul di sana,
meskipun tempatnya di dekat tumpukkan sampah, tapi itu tak jadi halangan, sebab
semua sampah di sana
dikumpulkan oleh mereka sendiri. Tetapi bukan berarti anak-anak itu pemulung
Lhoooo!!!
Menjelang
sore, mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Meskipun tempat tinggal mereka
tak layak dibilang rumah, tapi setidaknya dapat melindungi mereka dari terpaan
panas dan cengkraman dingin yang selalu datang tiap waktu.
Di
tengah perjalanan, ada satu hal yang menarik perhatian Rian. Sebuah mobil yang
tergolong mahal melaju di depan kelima anak itu. Dan berhenti tepat di depan
pemukiman kumuh.
Dari
dalamnya terlihat sebuah kursi roda yang kemudian diduduki oleh seorang gadis
sambil tersenyum manis dan sepintas memandang Rian. Jelas aja dia deg-degan dan
jadi salting. Gadis itu berpaling karena banyak anak yang menghampirinya,
termasuk Pinto yang sedari tadi berada di samping Rian.
“Bang
itu Kak Sinta, orangnya baik lho suka ngasih hadiah, yuk!”, kata Pinto
samangat. Dia memegangi dan mendorong tangan Rian, tapi Rian malah mengelak.
Dalam
hati dia kagum, “wah, udah kaya, cantik, baik lagi sama anak-anak jalanan yang
tak sepadan dengannya”
Rian
terus memandangi gadis itu, ternyata diam-diam dia suka.
“Oh
Sinta………………!”
“Eh, yo pulang, udah kesorean nih!” sahut
Petir menyadarkan lamunan Rian. Sebelum mereka pergi, sesaat Rian memberikan senyumnya pada Sinta yang
memang sedang memandangnya. Dari jauh pun gadis itu membalas senyumnya.
Suara-suara
yang sedari tadi terdengar membisingkan, kini lambat laun semakin samara,
mengecil dan…lenyap. Keadaan di kota
memang sedikit berbeda dengan daerah sekitar tempat tinggal Rian dan teman-temannya.
Meskipun terkadang sering terdengar laju kereta api yang melintas si atas rel
yang begitu nyaring.
Rian
dan temannya berjalan melewati jenbatan kecil yang menghubungkan antara kota dan daerah kecil itu.
“Wah
gimana nih, kita ikut saja di masjid itu ya!” saran Rian saat mendengar suara
adzan maghrib, sehingga mereka memutuskan untuk shalat di masjid yang letajnya
tak jauh dari tempat tinggal mereka.
Saat
shalat, rasanya semua beban yang mereka rasakan hilang dengan melaksanakan
sujud dan merebahkan semua masalah mereka kepada Sang pencipta. Karena hanya
kepadaNyalah mereka memohon.
*
* *
Esok
paginya, seperti biasa ke empat sekawan itu siap untuk mencari kehidupan di kota Jakarta
yang menurut banyak orang sebagai tempat segala kebahagiaan –tapi tidak menurut
ke empat orang itu-. hanya yang berani menghadapi segal rintangan yang
menghadang, maka dialah yang akan jadi pemenang. Dan siapa yang lebih pandai,
maka dialah yang akan bertahan.Deska Pratiwi, S.Pd - Alumni LDK KISI
0 comments:
Post a Comment